Penggunaan istilah "neo Orba" mengindikasikan bahwa pemerintahan Jokowi memiliki kemiripan dengan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Ilustrasi oleh Parama Dewi |
Oleh Rochim Hya
Istilah "neo Orba" menjadi viral menjelang pelaksanaan Pilpres 2024.
Para politisi menggunakan istilah ini untuk mengkritik pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo saat ini.
Maraknya penggunaan istilah ini oleh politisi menimbulkan tanda tanya di kalangan publik mengenai maknanya.
"Neo Orba" merujuk pada gagasan bahwa pemerintahan saat ini memiliki kemiripan dengan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Orde Baru adalah era pemerintahan otoriter yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak tahun 1966 hingga 1998.
Era ini dikenal dengan kontrol politik yang ketat, pembatasan kebebasan berpendapat, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Penyebutan "neo Orba" oleh para politisi menyoroti dugaan adanya peningkatan otoritarianisme, pembatasan kebebasan sipil, dan konsolidasi kekuasaan yang dianggap mengkhawatirkan.
Mereka menunjukkan bahwa beberapa kebijakan pemerintah, seperti penindakan terhadap kritikus, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan kehidupan bernegara, serta tindakan represi dan intimidasi menghampiri bagi siapa saja yang mengkritik kebijakan keliru pemerintah mengingatkan pada praktik-praktik Orde Baru.
Jelang Pilpres 2024, isu ini menjadi pusat perdebatan yang mempengaruhi narasi politik dan opini publik.
Pertanyaan tentang arah demokrasi Indonesia dan kebijakan pemerintah menjadi sorotan utama dalam kampanye politik dan diskusi publik.
Istilah "neo Orba" yang mencuat menjelang Pemilu 2024 dimulai dari pernyataan Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, dalam pertemuan dengan sukarelawan pendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Dalam pidatonya, Megawati menyoroti kemiripan pemerintahan saat ini dengan rezim Orde Baru.
Dia menyatakan ketidakpuasannya terhadap beberapa tindakan pemerintah yang menyerupai praktik zaman Orde Baru.
"Mestinya Ibu nggak perlu ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Karena apa? Republik ini penuh dengan pengorbanan tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?" ujar Megawati di JiExpo Kemayoran, Jakarta, pada Senin (27/11/2023), seperti yang dikutip dari Antara.
Megawati menyoroti berbagai tindakan pemerintah yang menimbulkan kesan seperti praktik Orde Baru.
Menurutnya, menjelang Pemilu 2024, pemerintah saat ini terlibat dalam intimidasi dan intervensi yang sewenang-wenang.
Pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran akan kemungkinan ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Pernyataan Megawati menciptakan gelombang diskusi di kalangan politisi, pengamat, dan masyarakat umum.
Isu "neo Orba" menjadi sorotan utama dalam kampanye politik dan berpengaruh terhadap dinamika politik jelang Pemilu 2024.
Munculnya istilah ini juga mengundang refleksi tentang perkembangan demokrasi di Indonesia serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Selain Megawati, politisi PDI-P lainnya, yaitu Djarot Saiful Hidayat, juga menyebut tentang "neo Orba" dalam acara yang sama.
Namun, Djarot tidak menunjuk pemerintah, melainkan paslon Probowo-Gibran.
Dalam kesempatan tersebut, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menganggap bahwa pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan gambaran dari neo Orba.
Djarot percaya bahwa tindakan dan retorika yang diusung oleh pasangan tersebut mengingatkan pada praktik-praktik otoriter zaman Orde Baru.
Oleh karena itu, Djarot mengajak relawan Ganjar-Mahfud untuk bersiap menghadapi Prabowo-Gibran.
Dalam pandangannya, menghadapi pasangan tersebut adalah upaya untuk melawan kembalinya praktik-praktik yang tidak demokratis dan otoriter dalam pesta demokrasi Indonesia.
Pernyataan Djarot ini mencerminkan kompleksitas politik yang mewarnai persaingan jelang Pemilu 2024.
Isu "neo Orba" tidak hanya diarahkan kepada pemerintah, tetapi juga terhadap pasangan calon tertentu, menciptakan dinamika politik yang semakin kompleks dan menegangkan.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penjagaan demokrasi dan perlawanan terhadap potensi otoritarianisme dalam proses politik Indonesia.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Djarot Saiful Hidayat, yang menjabat sebagai Ketua DPP PDI-P, ia menegaskan tekad untuk terus memperkuat demokrasi.
Dalam konteks politik menjelang Pemilu 2024, Djarot menyatakan bahwa bersama-sama, para pendukung Ganjar-Mahfud MD harus siap menghadapi pasangan Prabowo-Gibran sebagai cerminan dari apa yang disebutnya sebagai "neo-Orde Baru masa kini".
Dalam konteks ini, "neo-Orde Baru" dipahami sebagai tindakan atau retorika yang menyerupai praktik-praktik otoriter zaman Orde Baru yang telah berlalu.
Djarot menggambarkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai representasi dari hal tersebut, menekankan pentingnya untuk mempertahankan demokrasi dan menentang kembalinya praktik-praktik otoriter dalam politik Indonesia.
Meskipun pernyataan Djarot mengenai "neo Orba" ini cukup berani, Partai Gerindra, partai yang didukung oleh Prabowo Subianto, meresponsnya dengan santai.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, menyatakan bahwa Prabowo tidak merasa terprovokasi oleh pernyataan Djarot tersebut.
Istilah "neo Orba" pertama kali dipakai pada tahun 2004 oleh seorang sosiolog Indonesia bernama George Junus Aditjondro.
Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan di Tabloid Reformata pada edisi 13 April 2004, Aditjondro mengungkapkan pandangannya tentang Pemilu 2004, menyebutnya sebagai langkah untuk konsolidasi kekuatan "neo-Orba".
Penggunaan istilah ini oleh Aditjondro mengacu pada dugaan adanya praktik-praktik politik dan kekuasaan yang mirip dengan rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Orde Baru dikenal dengan kontrol politik yang ketat, pembatasan kebebasan berpendapat, dan dominasi otoriter.
Dalam konteks Pemilu 2004, Aditjondro merujuk pada kemungkinan adanya upaya untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan dengan cara yang otoriter atau otoritarian.
Dia menyatakan kekhawatirannya bahwa proses demokrasi dalam Pemilu tersebut mungkin dimanipulasi atau digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkuat kendali mereka atas kekuasaan, serupa dengan praktik-praktik yang terjadi di masa Orde Baru.
Meskipun pandangan Aditjondro saat itu hanya merupakan salah satu sudut pandang tentang Pemilu 2004, penggunaan istilah "neo Orba" olehnya memberikan kontribusi pada narasi tentang dinamika politik dan demokrasi di Indonesia.
Istilah ini kemudian menjadi lebih sering digunakan dan merujuk pada dugaan adanya kembalinya praktik-praktik otoriter dalam politik Indonesia di era pasca-Soeharto.
Arti dari istilah "neo Orba" yang ramai dibicarakan menjelang Pilpres 2024 melibatkan pemahaman atas kedua kata penyusunnya, yaitu 'neo' dan 'Orba'.
Pertama, kata 'neo' berasal dari bahasa Latin yang berarti modern, baru, atau mutakhir.
Dalam konteks bahasa Inggris, 'neo' sering digunakan sebagai sinonim dari 'new' yang artinya baru.
Beberapa sinonim lainnya yang memiliki makna serupa dengan 'neo' adalah 'contemporary', 'now', 'modernized', 'fresh', hingga 'ultramodern'.
Kedua, kata 'Orba' merupakan singkatan dari Orde Baru, sebuah rezim pemerintahan yang berkuasa di Indonesia selama lebih dari tiga dekade di bawah kepemimpinan Soeharto.
Orde Baru dikenal dengan kontrol politik yang ketat, pembatasan kebebasan berpendapat, dan dominasi otoriter.
Jadi, ketika kata 'neo' digabungkan dengan 'Orba', istilah "neo Orba" mengacu pada gagasan tentang adanya kembalinya atau kelahiran kembali praktik-praktik otoriter, otoritarianisme, atau tindakan-tindakan yang mirip dengan rezim Orde Baru dalam konteks politik Indonesia yang lebih modern atau baru.
Dengan kata lain, istilah "neo Orba" mengindikasikan adanya kekhawatiran atau penilaian bahwa pemerintahan atau kekuasaan yang ada saat ini, menjelang Pilpres 2024, memiliki ciri-ciri atau kecenderungan yang menyerupai praktik-praktik otoriter Orde Baru, meskipun dalam konteks yang lebih baru atau modern.
Secara keseluruhan, istilah "neo Orba" dapat diartikan sebagai Orde Baru yang bersifat modern atau kontemporer.
Namun, untuk memahami maknanya secara lebih mendalam, perlu melihat bagaimana masyarakat Indonesia mengartikan istilah "Orba" itu sendiri.
Di satu sisi, istilah "Orba" memiliki konotasi positif dalam sejarah politik Indonesia.
Ini merujuk pada periode transisi dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Orde Baru pada awalnya dianggap sebagai era pembaharuan yang mengklaim membersihkan negara dari ancaman paham komunisme dan menjanjikan stabilitas politik serta kemajuan ekonomi.
Namun, di sisi lain, istilah "Orba" juga memiliki konotasi negatif yang sangat kuat.
Era ini diwarnai oleh berbagai sisi gelap yang menyebabkan munculnya gerakan Reformasi pada tahun 1998.
Beberapa sisi gelap tersebut meliputi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pemerintahan yang otoriter dengan pembatasan kebebasan berpendapat, kontrol terhadap media, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang meluas.
Jadi, ketika istilah "neo Orba" digunakan, masyarakat cenderung mempertimbangkan kedua konotasi tersebut.
Ada kekhawatiran bahwa praktik-praktik otoriter, pelanggaran HAM, dan korupsi yang terkait dengan Orde Baru kemungkinan dapat muncul kembali dalam konteks politik yang lebih modern atau baru.
Ini menjadi bagian dari narasi politik dan penilaian terhadap arah demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia menjelang Pilpres 2024.
Jelang Pilpres 2024, istilah "neo Orba" kembali menjadi sorotan karena digunakan untuk mengkritisi berbagai hal negatif yang diasosiasikan dengan era Orde Baru yang terlihat kembali marak pada masa itu.
Salah satu tokoh yang menggunakan istilah ini adalah Megawati Soekarnoputri.
Megawati mengkritik pemerintahan saat ini dengan menyatakan bahwa para pemimpinnya telah mirip dengan rezim Orde Baru karena dianggap telah melakukan penindasan terhadap rakyat.
Dalam sebuah pernyataannya, Megawati menegaskan pertanyaan moral yang relevan, "Bolehkah kamu menekan rakyatmu? Bolehkah kamu memberikan apa pun kepada rakyatmu tanpa melalui perundangan yang ada di Republik ini?"
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Megawati melihat tindakan penguasa saat ini sebagai tindakan yang dilakukan tanpa memperhatikan proses demokratis dan hukum yang telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia.
Megawati Soekarnoputri menilai bahwa tindakan pemerintah saat ini bersifat otoriter dan semena-mena, mencerminkan praktik-praktik yang dikenal dari era Orde Baru.
Penggunaan istilah "neo Orba" olehnya mengindikasikan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya penurunan demokrasi dan kembali ke praktik-praktik otoriter dalam politik Indonesia menjelang Pilpres 2024.
Tudingan yang dilontarkan tersebut diduga mengacu pada kasus putusan judicial review oleh mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut mendapat kritik karena dianggap melibatkan konflik kepentingan dan hanya menguntungkan salah satu pasangan calon.
Kritik terhadap putusan tersebut muncul karena keponakan Anwar Usman, yakni Gibran Rakabuming Raka, dapat memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden berkat putusan tersebut.
Hal ini memungkinkan Gibran untuk mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024.
Dalam konteks ini, Djarot Saiful Hidayat, seorang politisi dari PDI-P, mengajak para pendukung setianya untuk menghadapi pasangan Prabowo-Gibran sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai "neo-Orde Baru masa kini."
Bagi Djarot, pasangan Prabowo dan Gibran dianggap mencerminkan pola pemerintahan otoriter dan praktik-praktik yang memicu kontroversi, mirip dengan era Orde Baru.
Dengan demikian, pernyataan Djarot Saiful Hidayat mencerminkan kekhawatiran akan kemungkinan adanya praktik-praktik otoriter dan manipulasi politik yang dianggap sebagai ciri khas dari era Orde Baru, yang kembali muncul dalam konteks politik Indonesia menjelang Pilpres 2024.
Ini menunjukkan bahwa isu "neo Orba" menjadi salah satu fokus perdebatan dalam peta politik yang semakin kompleks menjelang pemilihan presiden mendatang.