Perempuan perupa Emiria Sunassa menghilang terhapus waktu

Emiria Sunassa, pionir seni rupa, melampaui stereotip gender zaman itu. Di era di mana perempuan sering kali hanya objek dalam seni, ia muncul sebagai subjek yang berdaya dan berpengaruh.

Lukisan Emiria Sunassa, Panen Padi (1945). Foto oleh National Gallery Singapore/Iskandar Waworuntu

Oleh Anna Fadiah

Emiria Sunassa, seorang perupa yang melintasi waktu dengan misteri yang memikat.

Lahir dari kesunyian yang penuh ketiadaan, namun karyanya menciptakan kehadiran yang abadi dalam dunia seni.

Di antara gemerlap nama-nama besar seperti Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, dan Rusli, namanya sering kali tenggelam dalam lapisan sejarah yang tak terlalu dikenal.

Namun, kehadirannya seharusnya diakui sebagai salah satu pelopor perempuan dalam seni rupa Indonesia.

Emiria Sunassa bukanlah sekadar nama di daftar, tapi cahaya yang menyinari langkah-langkah awal seni rupa Indonesia.

Keberaniannya untuk mengekspresikan diri dalam dunia yang pada zamannya didominasi oleh perupa laki-laki menunjukkan ketegasan dan ketangguhannya.

Meski sering kali terlupakan, karyanya tetap berbicara untuknya, merangkai cerita-cerita yang menembus batas waktu dan ruang.

Kisah perjalanan Emiria Sunassa dalam dunia seni rupa adalah perjalanan yang penuh warna.

Dari langkah-langkah pertamanya dalam mengeksplorasi medium dan gaya, hingga pencapaian-pencapaian yang menandai keberhasilannya sebagai seorang perupa yang konsisten dan berani.

Setiap sapuan kuasnya memancarkan kekuatan dan kelembutan, setiap karya mencerminkan perjuangan dan keberanian.

Mungkin Emiria Sunassa telah pergi begitu saja, menghilang terhapus waktu.

Namun, jejaknya tetap terpatri dalam sejarah seni rupa Indonesia, menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk melangkah dengan penuh keyakinan dan semangat.

Dalam keheningan itu, namanya akan terus bergema, sebagai pengingat akan keberanian dan keteguhan seorang perempuan dalam mengejar impiannya dalam dunia seni.

Emiria Sunassa, seorang pionir dalam melangkah jauh melampaui stereotip gender dalam seni rupa.

Di zaman di mana perempuan seringkali dipandang hanya sebagai objek dalam karya seni, Sunassa muncul sebagai subjek yang berdaya dan berpengaruh.

Bahkan, Sudjojono, salah satu tokoh utama dalam senirupa modern Indonesia, menganggapnya sebagai "genius" yang langka.

Salah satu karya monumental Sunassa yang mencerminkan keberaniannya dalam mengekspresikan pandangan dan pengalaman perempuan adalah "Pengantin Dayak".

Dalam lukisan ini, warna merah jambu dan coklat tua mendominasi, menciptakan suasana yang memikat dan mendalam.

Karya ini bukan hanya sekadar representasi visual, tetapi juga sebuah pernyataan yang kuat tentang keberagaman budaya dan kekuatan perempuan.

"Pengantin Dayak" tidak hanya menjadi salah satu karya terkenal Sunassa, tetapi juga telah menjadi bagian dari koleksi berharga Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.

Dalam keindahannya, karya ini mengajak penonton untuk melihat lebih dalam akan nilai-nilai dan kekuatan yang terkandung dalam budaya Dayak, sekaligus merayakan keindahan dan keberanian perempuan.

Dengan karya-karya seperti "Pengantin Dayak", Emiria Sunassa telah melampaui batasan-batasan yang diberlakukan oleh masyarakat terhadap perempuan dalam seni rupa.

Ia tidak hanya menjadi pelopor, tetapi juga inspirasi bagi generasi-generasi perempuan seniman yang mengikuti jejaknya.

Melalui keberaniannya dan dedikasinya dalam mengekspresikan diri, Sunassa membuka pintu bagi perubahan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran perempuan dalam seni rupa.

Emiria Sunassa, seorang perempuan yang muncul dari latar belakang yang tak terduga dan mengejutkan.

Terlahir sebagai putri Sultan Tidore, ia tampaknya ditakdirkan untuk hidup dalam kemewahan dan keterbatasan yang diatur oleh statusnya.

Namun, jauh di lubuk hatinya, keinginan untuk lebih dari sekadar hidup dalam bayang-bayang kemewahan merajalela.

Lahir di Tanawangko, Sulawesi Utara, pada tahun 1895, Emiria dibesarkan dalam lingkungan yang mungkin tidak mendukung ambisinya.

Meskipun ayahnya, seorang raja dengan pemikiran modern, mungkin ingin memberikan kesempatan yang lebih besar bagi putrinya, namun keterbatasan budaya pada zamannya membuat Emiria hanya diizinkan belajar hingga kelas 3 Europese Lagere School, sebuah batasan yang jelas tidak sesuai dengan keinginan serta potensi yang dimilikinya.

Namun, Emiria tidak membiarkan keterbatasan itu menghalangi jiwanya yang penuh "berontak".

Dalam keheningan malam, di bawah cahaya gemerlap bintang, ia bermimpi tentang negeri-negeri jauh yang belum pernah ia kunjungi dan pengetahuan yang belum pernah ia gali.

Keinginannya untuk belajar dan tumbuh berkembang seperti akar yang menembus tanah keras, kuat dan tidak terpatahkan.

Mungkin pada awalnya Emiria tidak memikirkan untuk menjadi seorang pelukis.

Mungkin panggilan itu terdengar begitu jauh dan tidak terjangkau dalam realitasnya.

Tetapi di dalam hatinya, ada api yang membara, api pengetahuan dan keingintahuan yang tak pernah padam.

Emiria bertekad untuk meraih lebih dari yang telah ditentukan oleh takdirnya, untuk mengejar impian-impian yang mungkin tampak mustahil bagi banyak orang di zamannya.

Dalam ketiadaan keterbatasan yang mungkin mengikatnya, Emiria Sunassa menemukan kekuatannya.

Ia adalah contoh nyata dari keberanian dan ketekunan, sebuah inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah pada apa pun kendala yang mungkin menghadang dalam mengejar impian kita.

Di tengah kesibukannya yang tak kenal lelah, Emiria Sunassa menemukan dirinya terlibat dalam sebuah peristiwa yang tak terduga.

Seorang duta besar luar negeri, yang berada dalam kunjungannya ke tanah airnya, tiba-tiba jatuh sakit dengan parah.

Tanpa ragu, Emiria menawarkan bantuan dan merawatnya dengan penuh dedikasi dan perhatian.

Hari demi hari berlalu, dan dengan perawatan Emiria, kesehatan sang duta mulai membaik.

Namun, yang tidak terduga adalah perkembangan perasaan di antara keduanya.

Sang duta, tergerak oleh kebaikan dan perhatian Emiria, mulai merasakan ikatan yang kuat terbentuk di antara mereka.

Tanpa menunggu lama, ia memutuskan untuk melamar Emiria, yang pada awalnya mungkin tampak sebagai tindakan impulsif, tetapi di baliknya terdapat ketulusan dan kepercayaan yang dalam.

Bagi Emiria, ini adalah suatu kejutan besar.

Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perawatan sederhana yang ia berikan akan membawa konsekuensi sebesar ini.

Namun, dengan hati yang terbuka, Emiria menerima tawaran itu dengan penuh keberanian dan keyakinan.

Baginya, ini adalah kesempatan untuk mengikuti takdir yang mungkin telah ditulis oleh langit.

Dengan menerima lamaran sang duta, Emiria Sunassa membuka pintu menuju petualangan baru yang menunggunya di negeri asing.

Kehidupannya yang sebelumnya terbatas oleh keterbatasan budaya dan sosial di tanah airnya, kini akan memperluas sayapnya di Eropa.

Dan begitulah, dengan penuh keberanian dan semangat yang membara, Emiria memulai perjalanan menuju tanah yang jauh dan tak terduga, siap menghadapi semua yang akan menghampirinya dengan kepala tegak dan hati yang berani.

Perjalanan Emiria Sunassa menuju Eropa tidak hanya membuka pintu bagi petualangan baru dalam hidupnya, tetapi juga membawanya ke dunia seni yang lebih luas dan beragam.

Di benua yang jauh dari tanah airnya, Emiria tidak hanya belajar tari balet, tetapi juga menemukan bakatnya yang mengagumkan dalam seni panggung.

Dari Brussel hingga Amsterdam, Emiria menimba ilmu tari balet dari guru-guru terkemuka seperti Miss Duncan dari Dalcroze School dan Green.

Di bawah bimbingan mereka, bakat alami Emiria mulai bersinar dan menonjol.

Dengan tekun dan penuh semangat, ia menyerap setiap gerakan, setiap teknik, dan setiap ekspresi dengan penuh antusiasme.

Namun, puncak dari perjalanan seninya terjadi di Wina, di mana Emiria mendapatkan kesempatan emas untuk berpartisipasi dalam sebuah balet yang termasyhur.

Dalam pertunjukan yang menampilkan keindahan dan kemegahan Timur, Emiria memerankan karakter "Sun", sosok yang bersinar terang bak matahari.

Dengan setiap gerakan anggunnya, ia memancarkan kehangatan dan kecantikan yang memukau penonton.

Reaksi penonton terhadap penampilan Emiria begitu luar biasa.

Mereka tak hanya terpesona oleh keindahan gerakan dan ekspresi Emiria di atas panggung, tetapi juga terinspirasi oleh semangat dan keberanian yang ia pancarkan.

Dari sinilah, julukan "Sunny" melekat erat pada diri Emiria, menggambarkan kilauan dan keceriaan yang selalu menyertai langkah-langkahnya.

Dengan prestasi gemilangnya di atas panggung balet, Emiria Sunassa menambahkan babak baru dalam kisah hidupnya yang luar biasa.

Ia bukan hanya seorang puteri dari tanah yang jauh, tetapi juga bintang terang dalam dunia seni yang begitu luas.

Dengan bakatnya yang memikat dan semangatnya yang tak terpadamkan, Emiria telah meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah seni panggung.

Setelah gemerlap keberhasilan di panggung internasional, kisah hidup Emiria Sunassa mengalami patah hati yang mendalam.

Perkawinannya, yang pada awalnya tampak sebagai petualangan romantis, akhirnya kandas.

Meski penuh dengan kekecewaan dan duka, Emiria tidak membiarkan kegagalan itu menghentikan semangatnya.

Dengan tekad yang kuat, ia memutuskan untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia.

Kembali ke Indonesia bukanlah akhir dari perjalanan Emiria, melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.

Di negeri yang ia cintai, Emiria menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam melakukan perjalanan keliling daerah-daerah terpencil yang mempesona.

Ia menjelajahi setiap sudut tanah airnya dengan penuh antusiasme, mengagumi keindahan alam dan keberagaman budaya yang kaya.

Namun, perjalanan Emiria tidak hanya sebatas pengalaman pribadi.

Di balik setiap langkahnya, ia membawa serta semangat untuk menciptakan dan menginspirasi.

Dengan memiliki perkebunan di Halmahera, Emiria memiliki sumber penghasilan yang memadai untuk mendukung gaya hidupnya yang nomaden.

Hasil dari perkebunannya tidak hanya membiayai perjalanannya keliling daerah, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi karyanya.

Setiap kali Emiria menemukan keindahan baru dalam perjalanannya, ia dengan penuh gairah mencoba menangkapnya dalam lukisan-lukisannya.

Setiap goresan kuasnya mencerminkan keajaiban dan keunikan yang ditemuinya di perjalanan.

Dari puncak gunung yang menjulang hingga lembah yang hijau, setiap elemen alam menjadi bahan bakar bagi kreativitasnya yang tak terbatas.

Dengan kembali ke akar-akarnya di Indonesia, Emiria Sunassa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.

Di antara keindahan alam dan keberagaman budaya yang melimpah, ia menemukan inspirasi dan tujuan yang sejati dalam hidupnya.

Dengan setiap langkahnya, ia tidak hanya menjelajahi dunia luar, tetapi juga mendalam ke dalam jiwa dan keberadaannya sendiri.

Ketika takdir mempertemukan Emiria Sunassa dengan Dr. Pijper, seorang yang memiliki minat yang mendalam dalam seni, kedua jiwa yang bersemangat itu segera menemukan titik temu mereka.

Suatu hari, di tengah percakapan mereka yang hangat tentang seni, Dr. Pijper memperlihatkan reproduksi lukisan yang ia peroleh dari Belanda kepada Emiria.

Tanpa ragu atau canggung, Emiria dengan tegas melontarkan beragam kritik terhadap karya tersebut.

Kritik-kritik yang disampaikan oleh Emiria tidak hanya sekadar pandangan asal-asalan, tetapi merupakan refleksi dari pengertian dan pengetahuannya yang mendalam tentang seni. Dr. Pijper, yang mungkin tidak terbiasa dengan sambutan yang begitu jujur dan tajam, terkesan dengan keberanian dan kecerdasan Emiria dalam menyampaikan pendapatnya.

Kemudian, Dr. Pijper, dengan rasa ingin tahu yang tulus, bertanya kepada Emiria, "Adakah kau mempunyai banyak pengertian tentang melukis gambar?" Pertanyaan ini, seperti yang dikutip oleh Soh Lian Tjie dalam artikel "Emiria Sunassa, Dongeng Tentang Satu Pelukis Wanita" yang dimuat di Pantjawarna, Maret 1953, tidak hanya mencerminkan kekaguman Dr. Pijper terhadap pengetahuan Emiria tentang seni, tetapi juga mengakui kekuatan intelektual dan kepekaannya dalam melihat dan menghargai seni.

Dalam pertemuan yang mungkin tampak sederhana itu, Emiria Sunassa sekali lagi membuktikan bahwa kecerdasan dan keberanian tidak terbatas pada latar belakang sosial atau pendidikan seseorang.

Dengan wawasan dan kecintaannya terhadap seni yang mendalam, Emiria tidak hanya menginspirasi Dr. Pijper, tetapi juga banyak orang lain di sekitarnya.

Dr. Pijper terpukau.

Meskipun belum pernah melihat Emiria melukis atau karya-karyanya, ia merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut tentang bakat seni yang dimiliki oleh Emiria.

Penuh dengan rasa ingin tahu, Dr. Pijper mengajukan sebuah usulan yang cukup berani: dia menyarankan agar Emiria membuat sebuah lukisan sebagai kado ulang tahunnya.

Emiria, meskipun mungkin merasa sedikit tertekan dengan permintaan yang tiba-tiba ini, dengan hati yang berat setuju.

Di dalam hatinya, ia merasa campur aduk.

Di satu sisi, ada kecemasan akan ekspektasi tinggi yang mungkin dimiliki oleh Dr. Pijper terhadap karyanya.

Di sisi lain, ada keberanian dan tekad untuk menghadapi tantangan ini tanpa mundur.

Saat Emiria setuju untuk membuat lukisan, di dalam hatinya ia merasa terbelah.

Ia mengutuk dirinya sendiri: "Edan, nasi sudah menjadi bubur." Tetapi meskipun terdapat kekhawatiran dan keraguan, Emiria tetap bertekad untuk melangkah maju.

Ia menolak untuk mundur dari tantangan yang telah ia terima, dan dengan keberanian yang membara, ia memutuskan untuk menantang dirinya sendiri untuk menciptakan sesuatu yang luar biasa.

Dengan satu langkah tegar, Emiria Sunassa memasuki dunia lukisan yang mungkin sebelumnya hanya menjadi impian belaka.

Meskipun di hadapan tantangan yang menakutkan, ia menolak untuk menyerah pada ketakutan dan keraguan.

Sebagai seorang seniman sejati, ia siap menghadapi segala rintangan dan mengubah kegelisahan menjadi kekuatan yang membara.

Beberapa minggu telah berlalu sejak Dr. Pijper menyarankan Emiria untuk membuat lukisan sebagai kado ulang tahunnya.

Namun, meskipun waktu telah berjalan, lukisan yang dijanjikan belum kunjung jadi.

Dr. Pijper, yang tidak sabar menunggu, berkali-kali datang dan menanyakan kemajuan lukisan tersebut kepada Emiria.

Dengan ketulusan yang tajam, Emiria menjawab bahwa ia tidak dapat melukis sesuatu tanpa perlengkapan dasar seperti pensil, cat, dan kain linen.

Melihat keinginan Emiria untuk melanjutkan, Dr. Pijper tanpa ragu memberikan semua yang dibutuhkan oleh Emiria untuk memulai karya seninya.

Namun, kendati telah memiliki perlengkapan yang diperlukan, lukisan itu masih belum jadi.

Kali ini, Emiria memberikan alasan bahwa ia belum pernah menjelajahi keindahan alam di luar Jakarta.

Maka, dengan tekad untuk membantu Emiria menemukan inspirasi, Dr. Pijper mengajaknya ke Telaga Warna di daerah Puncak.

Pemandangan yang memukau di Telaga Warna tidak hanya mengagumkan Emiria, tetapi juga memberinya inspirasi yang luar biasa untuk melukis.

Namun, ketika Dr. Pijper menawarkan bantuan untuk membuat sketsa telaga tersebut, Emiria dengan sopan menolak, menyatakan bahwa ia tidak membawa kertas dan pensil.

Akhirnya, dengan kerjasama antara Emiria dan Dr. Pijper, mereka kembali ke rumah dengan sketsa telaga yang indah.

Kembali ke rumah, Emiria mulai memusatkan pikirannya pada kanvas kosong di hadapannya.

Dengan penuh semangat dan inspirasi yang baru, ia mulai melukis, menggambarkan keajaiban Telaga Warna dengan warna-warna yang mempesona dan detail yang luar biasa.

Perlahan namun pasti, Emiria Sunassa mulai menemukan jalannya dalam dunia seni lukis.

Dengan dedikasi dan kerja kerasnya, ia berhasil menghasilkan banyak lukisan yang menakjubkan, yang mulai dikenal di kalangan seniman dan pecinta seni.

Tak lama setelah itu, ia juga mulai berpartisipasi dalam berbagai pameran lukisan.

Salah satu tonggak penting dalam karir seninya adalah ketika Emiria menjadi anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang didirikan oleh tokoh-tokoh ternama seperti Sudjojono dan Agus Djaja pada tanggal 23 Oktober 1938.

Bergabung dengan Persagi memberikan Emiria kesempatan untuk terlibat dalam komunitas seniman yang dinamis dan berkembang, serta memperluas jaringan kontaknya di dunia seni rupa.

Kemudian, pada tahun 1941, saat Bond van Kunstkringen, sebuah persatuan seniman Belanda, mengadakan pameran lukisan yang khusus diperuntukkan bagi seniman-seniman Indonesia di Batavia, Emiria menjadi salah satu dari mereka yang memamerkan karyanya.

Pameran ini memperlihatkan 61 lukisan dari 30 pelukis pribumi, termasuk Emiria, yang menampilkan beragam tema seperti pemandangan alam dan kehidupan sehari-hari.

Pameran ini menjadi tonggak penting dalam sejarah seni rupa Indonesia, karena menandai perkembangan seni rupa modern di tanah air.

Lukisan-lukisan yang dipamerkan menunjukkan inovasi dan keberagaman dalam gaya dan tema, serta mengekspresikan semangat dan identitas bangsa Indonesia.

Emiria Sunassa, dengan karya-karyanya yang ikut dipamerkan, turut berkontribusi dalam memperkaya dan memajukan seni rupa Indonesia menuju arah yang lebih modern dan beragam.

Di masa pendudukan Jepang, dunia seni di Indonesia juga mengalami transformasi yang signifikan.

Emiria Sunassa, sebagai seorang seniman yang berbakat dan bersemangat, tidak terkecuali dari perubahan ini.

Pemerintah militer Jepang membentuk Keimin Bunko Shidosjo, yang merupakan Pusat Kebudayaan yang bertujuan untuk propaganda.

Emiria terlibat dalam bagian seni dari Keimin Bunko Shidosjo ini.

Pada tanggal 29 Agustus 1942, Pusat Kebudayaan tersebut memulai kegiatan pertamanya dengan sebuah pameran lukisan.

Emiria adalah satu-satunya perempuan yang berpartisipasi dalam pameran ini.

Meskipun demikian, kehadirannya memberikan kontribusi yang berarti dalam kesuksesan pameran tersebut.

Pameran tersebut berlangsung selama 60 hari dan mendapat respons yang sangat positif dari masyarakat, sehingga memicu diadakannya kegiatan-kegiatan seni lainnya.

Ketika Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) dibentuk di bawah kepemimpinan Sukarno, Emiria kembali terlibat dalam dunia seni.

Ia menjadi anggota seksi kesenian yang dipimpin oleh Sudjojono, seorang tokoh yang sangat dihormati dalam dunia seni rupa Indonesia.

Dalam perannya sebagai anggota seksi kesenian, Emiria aktif mengikuti berbagai pameran dan kegiatan seni lainnya.

Di zaman Jepang ini, kontribusi Emiria dalam dunia seni tidak hanya diakui secara lokal, tetapi juga secara nasional.

Namanya tercatat dalam buku "Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa" yang diterbitkan oleh Goenseikanbu pada tahun 1944.

Di buku tersebut, namanya dicatat dengan lengkap sebagai Emiria Sunassa Wama'na Putri Al Alam Mahkota Tridore, dengan gelar Emma Wilhemina Parera.

Dengan keberaniannya untuk terlibat dalam dunia seni di masa yang penuh dengan perubahan dan ketidakpastian, Emiria Sunassa menjadi salah satu contoh yang menginspirasi dalam ketahanan dan keteguhan hati dalam mengejar passion dan impian, meskipun di tengah situasi yang sulit dan berat.

Menurut kritikus seni Sanento Yuliman, dalam bukunya yang berjudul "Dua Seni Rupa", Emiria Sunassa memamerkan sejumlah lukisan pada akhir April 1943, dengan objek lukisan berupa patung masyarakat suku Indonesia, dalam sebuah pameran di Jakarta.

Dalam pandangan Sanento, karya-karya Emiria ini merupakan contoh nyata dari seni lukis yang menggambarkan keindonesiaan melalui penggambaran artefak dan kebudayaan masyarakat suku di Indonesia.

Melalui karyanya, Emiria mampu menangkap esensi dan keunikan dari kehidupan dan budaya masyarakat suku di Indonesia.

Lukisan-lukisannya tidak hanya sekadar gambaran visual, tetapi juga mengandung makna mendalam tentang keberagaman budaya dan kekayaan warisan bangsa Indonesia.

Dalam setiap goresan kuasnya, Emiria mampu menyampaikan pesan yang kuat tentang identitas dan jati diri bangsa Indonesia.

Karyanya menjadi sebuah cerminan dari keberagaman budaya yang menjadi kekuatan utama dari bangsa ini.

Penghargaan yang diberikan oleh Sanento Yuliman terhadap karya-karya Emiria tidak hanya sekadar pengakuan atas keindahan visualnya, tetapi juga atas kedalaman dan kebermaknaan yang terkandung di dalamnya.

Emiria Sunassa, dengan bakat dan kepekaannya dalam melihat dan menghargai keindahan serta kekayaan budaya Indonesia, telah memberikan kontribusi yang berharga dalam mengangkat dan mempromosikan keindonesiaan melalui seni lukisnya.

Menurut Soh Lian Tjie, seorang yang mengunjungi Emiria Sunassa pada tahun 1953, kebebasan dan ketegasan jiwa Emiria tercermin dalam setiap lukisan yang diciptakannya.

Emiria tidak terikat oleh aturan-aturan formal tentang seni lukis, seperti aturan anatomis atau keinginan dari calon pembeli.

Ia melukis dengan cara yang sesuai dengan pandangan pribadinya terhadap objek yang ia gambar, terinspirasi oleh kesan-kesan yang diterimanya.

Emiria tidak hanya menggambarkan objek-objek secara realistis, tetapi juga menghadirkan interpretasi pribadinya yang unik.

Warna-warna yang digunakannya tidak hanya mencerminkan keindahan visual, tetapi juga menggambarkan keadaan emosional dan spiritual yang mendalam.

Dalam setiap sapuan kuasnya, Emiria berhasil menangkap esensi dari setiap objek yang ia lukis, membawa penonton dalam perjalanan visual yang mengagumkan dan menginspirasi.

Salah satu kekuatan utama dari lukisan-lukisan Emiria adalah kemampuannya untuk mengekspresikan keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia.

Ia melukis objek-objek yang pernah ia kunjungi, dari pemandangan eksotis di Bali hingga kehidupan sehari-hari di pedalaman Papua dan Maluku.

Tak heran jika unsur etnik sangat menonjol dalam karya-karya Emiria.

Dalam setiap lukisan, ia berhasil menangkap keindahan dan keunikan dari berbagai budaya dan tradisi di Indonesia.

Dengan kebebasan ekspresi dan kepekaan artistiknya, Emiria Sunassa telah menciptakan warisan seni yang menginspirasi dan memukau.

Melalui lukisan-lukisannya, ia tidak hanya mengabadikan keindahan alam dan kehidupan di Indonesia, tetapi juga merayakan keberagaman budaya dan warisan budaya bangsa yang luar biasa.

Lukisan-lukisan Emiria tidak hanya sekadar karya seni visual, tetapi juga cerminan dari jiwa yang penuh semangat dan kecintaan pada tanah airnya.

Emiria Sunassa, selain dikenal sebagai seorang seniman yang berbakat dan bersemangat, juga dianggap oleh banyak kalangan sebagai salah satu pelopor dalam seni feminis awal di Indonesia.

Salah satu ciri khas dari karya-karya Emiria adalah seringnya ia menampilkan perempuan dalam lukisannya, yang bersumber dari cerita-cerita pribumi, sosok-sosok puak, dan model dari kalangan jelata.

Dalam lukisan-lukisannya, Emiria menggambarkan kehidupan dan perjuangan perempuan Indonesia dengan penuh kepekaan dan empati.

Salah satu contoh karya feminis awal dari Emiria adalah lukisan berjudul "Mutiara Bermain", yang dibuatnya selama empat tahun sejak tahun 1942.

Lukisan ini menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut.

Melalui lukisan ini, Emiria menyiratkan kondisi tertindas yang dialami oleh perempuan pada masa itu, terutama di masa penjajahan Jepang yang sering kali memperlakukan perempuan sebagai objek pemuas nafsu birahi.

Selain "Mutiara Bermain", Emiria juga menciptakan berbagai karya lain yang bersubjek perempuan, seperti "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942).

Dalam setiap lukisan, Emiria mampu menangkap esensi dan kekuatan perempuan Indonesia, serta merayakan keberagaman dan kekuatan mereka.

Menurut Emiria, seperti yang dituturkan kepada Soh Lian Tjie, seni Indonesia modern masih harus terus mencari jalannya.

Para pelaku seni, baik laki-laki maupun perempuan, harus memiliki kesadaran penuh bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai.

Emiria dengan kritiknya yang tajam dan karya-karyanya yang memukau, memberikan sumbangan berharga dalam mengangkat dan memperjuangkan hak-hak perempuan serta menggambarkan perjuangan mereka dalam mencapai kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat.

Emiria Sunassa tinggal di sebuah rumah yang nyaman, dengan udara yang sejuk dan pekarangan yang dipenuhi oleh berbagai macam tanaman.

Namun, ada yang menarik perhatian dari rumahnya yang tampak begitu damai itu: dindingnya kosong.

Ketika ditanya mengapa demikian, Emiria dengan tulus menjawab, "Ini semata-mata karena saya tak dapat bekerja apabila saya dikelilingi oleh barang-barang bagus.

Itu agak mengganggu pemusatan pikiran saya.

Seniman menciptakan sesuatu dari apa yang dinamakan ketiadaan."

Kata-kata Emiria itu memberikan gambaran yang menarik tentang kreativitas dan proses berpikir seorang seniman.

Baginya, ruang kosong bukanlah kekurangan, tetapi justru merupakan sumber inspirasi dan kemungkinan.

Dengan membebaskan diri dari distraksi dan gangguan visual, Emiria mampu fokus sepenuhnya pada karyanya, membiarkan imajinasinya melayang bebas dan menciptakan sesuatu yang baru dan unik.

Dinding rumahnya yang kosong menjadi metafora dari keheningan dan kekosongan yang menjadi lahan subur bagi kreativitasnya.

Emiria mengerti betul bahwa dalam keheningan itulah ia dapat mendengar suara batinnya yang paling dalam, dan dalam kekosongan itulah ia dapat menemukan inspirasi yang tak terbatas.

Dengan gaya hidupnya yang sederhana dan penuh kesederhanaan, Emiria Sunassa mengajarkan kita bahwa kreativitas tidak selalu memerlukan peralatan yang mewah atau lingkungan yang mewah.

Yang terpenting adalah kemampuan untuk membebaskan diri dari segala distraksi dan mengakses sumber daya kreatif yang ada di dalam diri kita sendiri.

Jejak Emiria Sunassa, setelah masa gemilangnya sebagai seorang seniman yang berpengaruh, kemudian lenyap pada tahun 1960-an, meninggalkan tanda tanya bagi banyak orang yang mengaguminya.

Menurut arsip dari www.nationaalarchief.nl, pada tahun 1960, ia mengajukan permohonan visa ke Nederlands Nieuw-Guinea, yang saat itu dikenal sebagai Papua Barat, dengan menyebut dirinya sebagai "Ratu dari Nederlands Nieuw-Guinea".

Namun, tujuan sebenarnya dari permohonan visa tersebut masih belum jelas hingga saat ini.

Papua Barat, yang sejak abad ke-18 dianggap sebagai bagian dari Kesultanan Tidore, pada masa itu masih menjadi wilayah yang disengketakan antara pemerintah Indonesia dan Belanda.

Kehadiran Emiria Sunassa dengan gelar "Ratu dari Nederlands Nieuw-Guinea" menambah misteri tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang ingin dicapainya dengan langkah tersebut.

Apakah ia memiliki rencana politik, atau hanya sekadar mencari petualangan baru, tetap menjadi tanda tanya.

Tragisnya, Emiria Sunassa meninggalkan dunia ini pada tanggal 7 April 1964, di Lampung.

Kematian Emiria menambah aura misteri dan ketidakpastian yang menyelimuti kehidupannya.

Meskipun telah tiada, warisan seninya tetap menjadi sumber inspirasi dan kagum bagi banyak orang, serta membangkitkan rasa ingin tahu akan kehidupan dan perjalanan yang luar biasa dari seorang seniman yang begitu berbakat dan berani.

Penulisan sejarah seni rupa mulai memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap kontribusi perupa perempuan Indonesia dalam dunia seni, sebuah pengakuan yang selama ini sering kali terabaikan.

Dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia, perupa perempuan telah memberikan kontribusi yang signifikan, namun namanya sering kali terlupakan atau terpinggirkan dalam narasi sejarah yang lebih luas.

Namun, berkat semangat dan dedikasi perupa perempuan yang terus tumbuh, seperti Emiria Sunassa, kini pijakan mereka mulai diakui dan dihargai.

Emiria Sunassa memainkan peran penting dalam membuka jalan bagi perupa perempuan Indonesia.

Melalui karyanya yang berani dan inovatif, ia tidak hanya menginspirasi generasi seniman berikutnya, tetapi juga memberikan kontribusi yang berharga dalam memperkaya warisan seni rupa Indonesia.

Sebagai salah satu pelopor seni feminis awal di Indonesia, Emiria menghadirkan perspektif baru dalam penggambaran kehidupan perempuan dan memperjuangkan hak-hak mereka melalui lukisan-lukisannya yang kuat dan penuh makna.

Meskipun perjalanan Emiria terkadang dipenuhi dengan ketidakpastian dan tantangan, warisannya tetap hidup dan terus memberikan inspirasi bagi banyak orang.

Karya-karya Emiria tidak hanya menjadi saksi bisu dari perjuangan perempuan dalam seni rupa, tetapi juga menjadi cerminan dari kekuatan dan keberanian perempuan Indonesia dalam menghadapi segala rintangan dan hambatan.

Dengan semangatnya yang tak kenal lelah, Emiria Sunassa telah memberikan kontribusi yang tak ternilai dalam perkembangan seni rupa Indonesia, serta membuka jalan bagi perupa perempuan berikutnya untuk mengekspresikan diri mereka dan mengukir jejak mereka dalam sejarah seni rupa Indonesia.

Emiria Sunassa adalah contoh nyata dari kekuatan dan keindahan seni, serta kemampuan seni untuk menginspirasi, menyatukan, dan mengubah dunia.

Posting Komentar