Satelit Starlink. Foto oleh Clarisa Sendy untuk Obsvor |
Obsvor.com - Pada tahun 2024, Starlink resmi memasuki pasar Indonesia setelah mengantongi Uji Laik Operasi (ULO).
Layanan internet satelit ini telah mulai digunakan oleh sejumlah masyarakat di berbagai wilayah, termasuk Bandung Barat.
Starlink, yang dimiliki oleh SpaceX, perusahaan teknologi milik Elon Musk, menawarkan akses internet dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah, yang sangat bermanfaat bagi daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur internet konvensional.
Namun, di balik potensi besar yang ditawarkan Starlink, terdapat sejumlah kekhawatiran yang mencuat.
Salah satu kekhawatiran utama adalah terkait dengan kedaulatan data dan kendali atas data pengguna di Indonesia.
Kehadiran layanan komunikasi yang dimiliki oleh perusahaan asing dapat membawa risiko terhadap kedaulatan digital Indonesia.
Pakar Keamanan Siber dari Cissrec, Pratama Persadha, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia pada 15 Mei 2024, menekankan potensi ancaman terhadap kedaulatan digital yang mungkin timbul akibat penggunaan layanan dari perusahaan asing.
"Penggunaan layanan komunikasi yang dimiliki oleh perusahaan asing juga memiliki potensi ancaman terhadap kedaulatan digital Indonesia. Salah satunya karena terbatasnya kontrol serta pengawasan karena negara tidak memiliki kendali penuh terhadap infrastruktur satelit yang dioperasikan oleh perusahaan asing," ujarnya.
Persoalan utama yang diangkat oleh Pratama adalah keterbatasan kontrol dan pengawasan pemerintah Indonesia terhadap infrastruktur satelit milik Starlink.
Hal ini berimplikasi pada risiko keamanan data dan privasi pengguna di Tanah Air.
Perusahaan asing yang mengoperasikan infrastruktur satelit seperti Starlink memiliki kendali terhadap data pengguna dan informasi yang melewati jaringan mereka.
"Ini bisa menjadi masalah jika data ini disalahgunakan atau diakses oleh pihak yang tidak berwenang," tambah Pratama.
Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan data pengguna Indonesia disimpan dan diolah di luar negeri, di bawah yurisdiksi hukum yang berbeda dengan Indonesia.
Hal ini menambah kompleksitas pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran privasi atau penyalahgunaan data.
Misalnya, jika terjadi pelanggaran data, upaya pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan hukum atau meminta pertanggungjawaban bisa terhalang oleh batas-batas yurisdiksi internasional.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan pada teknologi dan infrastruktur asing dapat melemahkan industri teknologi dalam negeri.
Jika sebagian besar masyarakat beralih ke layanan internet satelit asing, maka perusahaan telekomunikasi lokal bisa saja mengalami penurunan pangsa pasar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi investasi dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi domestik.
Namun, di sisi lain, kehadiran Starlink juga membawa sejumlah manfaat yang tidak bisa diabaikan.
Akses internet yang cepat dan stabil dari Starlink dapat mendukung berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, terutama di daerah-daerah terpencil.
Layanan ini memungkinkan pelajar di pedalaman untuk mengakses sumber belajar online, mendukung telemedisin bagi masyarakat yang jauh dari fasilitas kesehatan, dan membuka peluang bisnis digital di daerah yang sebelumnya tidak terjangkau internet.
Untuk mengatasi kekhawatiran ini, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis.
Salah satunya adalah dengan memperkuat regulasi terkait perlindungan data dan keamanan siber.
Pemerintah juga bisa memperketat syarat bagi perusahaan asing yang ingin beroperasi di Indonesia, termasuk kewajiban untuk menyimpan data pengguna di dalam negeri dan membuka akses audit terhadap infrastruktur mereka.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan teknologi lokal dan mendukung perusahaan telekomunikasi dalam negeri untuk bersaing secara sehat.
Ini bisa dilakukan melalui berbagai insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, serta kolaborasi dengan institusi riset dan akademisi untuk mengembangkan teknologi internet yang lebih canggih dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Dengan langkah-langkah yang tepat, masuknya Starlink ke Indonesia bisa menjadi peluang besar untuk mempercepat inklusi digital tanpa mengorbankan kedaulatan dan keamanan data.
Tantangan ini memerlukan kerjasama yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem digital yang aman, adil, dan berkelanjutan bagi semua.
Lebih lanjut mengenai kekhawatiran atas kehadiran Starlink di Indonesia, Pratama Persadha, pakar keamanan siber dari Cissrec, menilai bahwa pendirian stasiun bumi di Indonesia adalah langkah yang sangat penting.
Menurutnya, dengan adanya stasiun bumi di dalam negeri, pemerintah dapat melakukan sensor dan pemblokiran terhadap konten ilegal melalui Internet Service Provider (ISP) lokal yang bekerja sama dengan Starlink.
Hal ini akan memperkuat kendali pemerintah atas lalu lintas data dan konten yang beredar di jaringan internet di Indonesia.
Pratama menegaskan, "Jika backbone yang digunakan bukan dari ISP Indonesia, maka tidak bisa melakukan sensor. Sebab, hal tersebut di luar wewenang pemerintah Indonesia."
Ini menunjukkan bahwa tanpa infrastruktur lokal, pemerintah akan kesulitan mengontrol dan memantau aktivitas digital yang menggunakan layanan Starlink, sehingga membuka celah bagi konten ilegal dan potensi penyalahgunaan data.
Sebagai informasi tambahan, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Budi Arie Setiadi, telah mewajibkan Starlink untuk menggunakan IP Address Indonesia.
Langkah ini dinilai tepat oleh Pratama karena memaksa perusahaan milik Elon Musk untuk mendirikan stasiun bumi dan gateway di dalam negeri.
Dengan demikian, pemerintah dapat memiliki kontrol lebih besar terhadap operasional dan keamanan data pengguna di Indonesia.
Namun, Pratama mengakui adanya tantangan dalam pengawasan langsung terhadap layanan Starlink.
Saat ditanya mengenai letak pencegatan pemerintah terhadap Starlink, ia menjelaskan bahwa tidak bisa dilakukan secara langsung.
Konsep bisnis Starlink yang sekarang berbeda dengan ketika mereka bekerja sama dengan Telkomsat.
Sebelumnya, Starlink melalui backbone milik Telkomsat sebelum dijual secara ritel kepada pengguna akhir.
Hal ini memungkinkan adanya pengawasan lebih dari pemerintah.
"Dulu konsep awalnya dari Starlink, masuk ke backbone-nya Telkomsat dulu, kemudian baru dijual ritel ke user. Ternyata sekarang Starlink juga langsung melayani ritel. Orang juga bisa bebas beli antena dan langganan langsung. Jadi Pemerintah kita enggak ada perannya," jelas Pratama.
Situasi ini menunjukkan bahwa dengan layanan langsung ke konsumen, peran pemerintah dalam pengawasan menjadi minim, sehingga meningkatkan risiko kedaulatan digital dan keamanan data.
Dalam situasi di mana masyarakat dapat dengan mudah membeli antena dan berlangganan langsung ke Starlink, pemerintah perlu mencari cara baru untuk menjaga kedaulatan digital dan keamanan data.
Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan regulasi yang lebih ketat terkait operasional layanan satelit asing dan memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan dan diolah harus sesuai dengan peraturan perlindungan data Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga dapat memperkuat kerjasama dengan perusahaan telekomunikasi dalam negeri untuk memastikan bahwa layanan internet dari Starlink dapat dikontrol dan dipantau dengan baik.
Pendirian stasiun bumi lokal tidak hanya membantu dalam hal pengawasan, tetapi juga membuka peluang kerja sama yang lebih erat antara perusahaan asing dan lokal, yang pada gilirannya dapat memperkuat industri teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.
Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah dapat memastikan bahwa masuknya teknologi baru seperti Starlink tidak hanya membawa manfaat dalam hal akses internet yang lebih luas dan cepat, tetapi juga tetap menjaga kedaulatan digital dan keamanan data warga negara Indonesia.
Tantangan ini memerlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem digital yang aman dan terkontrol.